Stop Judi Online, Battlefield 6 dan Amarah Timur: Ketika Pemain China dan Rusia Melawan Lewat Review

Battlefield 6 dan Amarah Timur: Ketika Pemain China dan Rusia Melawan Lewat Review

Stop Judi Online dan kerugiannya! Beralihlah ke adrenaline rush yang sesungguhnya di Battlefield 6. Nikmati pertempuran FPS epic yang 100% legal dan skill-based.

Ketika Battlefield 6 akhirnya dirilis  di Steam pada 10 Oktober 2025 , banyak penggemar seri klasik itu bersorak. Trailer sinematik yang megah, janji “revolusi sistem pertempuran”,

dan kembalinya nuansa realistik membuat harapan penggemar menembus langit.

Namun beberapa hari setelah peluncuran, gelombang berbeda muncul — bukan di medan tempur, tapi di kolom review Steam. Di sana, ribuan pemain dari China dan Rusia menembakkan

amarah mereka bukan dengan senjata virtual, melainkan dengan kata-kata.
Hasilnya: skor Battlefield 6 di dua wilayah itu anjlok ke status Mixed dan bahkan Mostly Negative.

Di sisi lain, di Amerika Serikat dan Eropa Barat, game yang sama justru dipuji — “teknis memukau”, “kembali ke bentuk aslinya”, “seri terbaik sejak BF4”.
Mengapa perbedaan tajam ini bisa terjadi?

Perang Baru di Dunia Lama

Seri Battlefield punya sejarah panjang di dua wilayah timur ini. Di Rusia, komunitasnya bahkan menjadi salah satu yang paling loyal sejak era Bad Company 2. Di Tiongkok,

Battlefield 4 dulu populer karena elemen urban yang realistis dan konten lokal seperti map Shanghai.

Namun, Battlefield 6 tiba dengan wajah berbeda.
Tidak ada dukungan bahasa Rusia. Tidak ada voice-over Mandarin yang alami. Beberapa teks menu diterjemahkan secara kaku — hasil terjemahan mesin, bukan manusia.
Bagi banyak pemain di dua negara ini, seolah EA dan DICE baru saja menghapus identitas mereka dari game yang dulu mereka bantu populerkan.

“Kita tidak hanya kehilangan bahasa kita di game ini, tapi juga kehilangan rasa dihargai,” tulis seorang pengguna asal Moskow di Steam.
“Kalimat-kalimat ini terdengar seperti diterjemahkan oleh bot. Battlefield dulu terasa hidup — sekarang seperti produk global tanpa jiwa.”

Masalah Lokalisasi yang Menjadi Simbol

Isu lokalitas sebenarnya terdengar teknis, tapi dalam konteks industri game modern, ia adalah bentuk representasi kultural.

  • Di Tiongkok, pemain mengeluh voice-acting Mandarin terdengar “robotik” dan “tidak emosional.” Bahkan, beberapa pengisi suara terdengar seperti hasil AI — sesuatu

  • yang sangat mudah dikenali oleh telinga gamer lokal.

  • Di Rusia, masalah lebih parah: tidak ada opsi bahasa Rusia sama sekali. Tidak subtitle, tidak suara, bahkan antarmuka utama hanya tersedia dalam bahasa Inggris.

Dalam dunia game AAA, absennya dukungan bahasa lokal bukan sekadar kekurangan teknis — itu sinyal. Sinyal tentang siapa yang dianggap pasar utama,

dan siapa yang dikesampingkan.
Di forum Rusia PlayGround.ru, seorang pengguna menulis dengan getir:

“Mereka (EA) dulu berbicara kepada kami lewat karakter, kini mereka bahkan tak repot memberi teks.”

Sementara di Bilibili dan Weibo, tagar #Battlefield6LocalizationDisaster sempat menjadi trending di komunitas gaming Tiongkok.

Teknologi, Bug, dan Rasa Dikhianati

Masalah lokalisasi hanyalah awal.
Pemain juga menghadapi bug peluncuran yang membuat frustrasi — terutama pengguna EA App yang tidak bisa mengakses konten yang sudah mereka beli. Di Rusia,

beberapa pemain bahkan tak bisa membuka mode campaign karena sistem keamanan Secure Boot dan TPM 2.0 tidak didukung di banyak PC lawas.

Dalam forum Steam, seorang pemain menulis:

“Kami tidak bisa bermain, tidak bisa membaca, dan bahkan tidak bisa mendengar karakter kami berbicara. Tapi kami bisa memberi review. Jadi kami lakukan itu.”

Di China, keluhan datang dari arah lain. Banyak pemain menganggap sistem anti-cheat baru Javelin terlalu agresif dan memblokir akun dengan VPN aktif — padahal sebagian

besar gamer di China memerlukan VPN untuk bermain di server luar negeri.

“Mereka menghukum kami karena lokasi kami,” tulis pengguna di Douban.
“Game ini terasa bukan milik semua orang, tapi milik segelintir.”

Luka Lama Antara Timur dan Barat

Secara simbolis, Battlefield 6 memantulkan ketegangan global yang lebih besar.
Sejak 2022, hubungan geopolitik antara Rusia, China, dan dunia Barat semakin tegang. Banyak perusahaan game global berhati-hati terhadap isu sensitif — dan

terkadang memilih menghindari rilis penuh di wilayah tertentu demi menghindari risiko politik.

Namun bagi pemain, kebijakan seperti ini sering terasa sebagai pengkhianatan emosional. Mereka bukan pemerintah; mereka hanya ingin bermain.
Ketika Battlefield 6 tidak memberikan bahasa mereka, tidak mendukung perangkat mereka, dan memperlakukan wilayah mereka sebagai pasar sekunder,

mereka bereaksi dengan cara paling modern: review bombing.

Review Bombing Sebagai Bentuk Protes Digital

Fenomena ini bukan pertama kali terjadi.
Pada 2019, Total War: Three Kingdoms juga mendapat gelombang review negatif dari pemain Tiongkok karena konten tambahan dianggap tidak menghormati sejarah lokal.

Di Rusia, Atomic Heart mendapat sentimen serupa dari pihak lain karena narasi politiknya.

Di era digital, review bombing bukan hanya soal marah — itu alat komunikasi.
Ia adalah cara komunitas menyampaikan pesan: “Kami ada, kami kecewa, dan kami ingin didengar.”

EA sendiri belum merespons langsung soal absennya bahasa Rusia dan lokalisasi Mandarin. Namun perwakilan DICE Stockholm mengatakan sedang “mengevaluasi dukungan multi-region patch di masa depan.”
Jawaban yang, bagi sebagian pemain, terdengar seperti janji yang sudah terlalu sering diucapkan.

Di Balik Keheningan: Masih Ada Cinta untuk Battlefield

Menariknya, di tengah amarah dan ribuan review negatif, banyak juga komentar bernada sedih, bukan sekadar marah.

“Saya sudah main Battlefield sejak 2005,” tulis pengguna dari Nizhny Novgorod.
“Saya tidak ingin membenci game ini. Tapi saya ingin game ini juga mencintai kami kembali.”

Bagi banyak pemain Rusia dan Tiongkok, Battlefield 6 adalah seri yang menemani masa muda mereka. Mereka hafal suara tank, sirene udara, bahkan soundtrack khas Battlefield 3.

Ketika seri baru terasa asing — baik dalam bahasa maupun sikap — rasa kehilangan itu lebih dalam dari sekadar frustrasi teknis.

Refleksi: Siapa yang Didengar dalam Dunia Global?

Kasus Battlefield 6 memperlihatkan dilema klasik industri game global: bagaimana menyeimbangkan pasar besar yang beragam tanpa kehilangan identitas pusatnya.

Bagi EA, fokus utama memang pasar barat, di mana penjualan premium dan microtransaction lebih menguntungkan. Tapi di dunia yang makin terkoneksi,

pemain dari timur bukan lagi pasar tambahan — mereka bagian dari komunitas inti.

Game modern bukan hanya produk, tapi juga ruang sosial. Dan ketika sebagian komunitas merasa dikeluarkan dari ruang itu, respons mereka cepat, keras, dan penuh emosi.

Di Antara Dua Medan Perang

Ironis, tapi pas: Battlefield 6 adalah game tentang konflik global — dan kini justru jadi medan perang kecil antara pengembang dan pemainnya sendiri.

Di barat, pemain menikmati grafis dan gameplay canggih.
Di timur, pemain mengetikkan kalimat pendek di kolom review:

“Kami tidak diminta bertarung di sini. Tapi kalian memaksa kami.”

Barangkali inilah paradoks Battlefield 6: game tentang pertempuran yang sempurna, tapi lupa satu hal penting — bagaimana mendengarkan mereka yang merasa ditinggalkan di belakang garis depan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *